Insight Articles — Feb 09, 2023

Udah Gede Kok Suka Mainan Anak?

5 mins read

Share this article

Meskipun mainan dan playground umumnya identik dengan anak-anak, banyak orang dewasa yang seleranya awet muda. Belakangan ini di media sosial muncul istilah “kidult” atau “kid adult”. Menurut kamus Cambridge, “kidult” berarti orang dewasa yang suka melakukan kegiatan atau membeli barang yang disasarkan untuk anak-anak[1]. Misalnya, mengoleksi mainan anak-anak, bermain di playground, hingga merayakan ulang tahun di restoran cepat saji seperti yang baru-baru ini viral di media sosial.

 

Banyak dari para kidult mengeluarkan modal jutaan Rupiah untuk menyalurkan hobinya ini. Untuk orang-orang yang nggak paham, mungkin ketertarikan para kidult dipandang buang-buang uang dan waktu saja. Padahal untuk para kidult, mainan kesukaan mereka nggak cuma bernilai sebagai mainan aja lho.

 

Orang Dewasa juga Butuh Main

Kidult sering dikaitkan dengan konsep “inner child” yang artinya aspek kekanak-kanakan yang tersembunyi di diri kita[2]. John Bradshaw dalam bukunya menggunakan istilah "inner child" untuk merujuk ke kondisi mental-emosional yang ada di alam bawah sadar kita sebagai hasil dari apa yang kita alami sejak anak-anak sebelum mengalami pubertas. “Inner child” dianggap sebagai kondisi masa anak-anak yang belum lengkap dan efek negatifnya[3]. Karena inilah kidult banyak dianggap sebagai orang-orang yang berusaha mengobati “inner child” mereka karena merasa nggak bahagia selama anak-anak, sehingga setelah dewasa mencari kebahagiaannya sendiri lewat barang dan pengalaman yang belum pernah mereka alami saat kecil[4].
 

Tapi, jangan memukul rata semua orang dewasa yang suka mainan penyebabnya karena MKKB alias Masa Kecil Kurang Bahagia ya. Menurut Psikolog Vivi Rosdiana, ada beragam alasan yang membuat para kidult nggak ingin meninggalkan mainan mereka di masa kecil. Salah satunya karena jiwa beberapa orang memang suka bermain dan kondisi ini nggak mengenal usia[5]

 

Ini pendapat orang-orang dari berbagai usia yang mengobrol dengan kami:

 

“Gue suka mainan anak kecil kayak figurine atau playground. Gue merasa senang aja bisa kayak balik ke masa kecil. Soalnya capek gak sih jadi orang dewasa?” -Du***, midlife crisis di usia 23

 

“Gue suka ke Kidza**a! Dulu pas kecil cuma kesampean kesana sekali, rasanya kayak luxury. Kayaknya memorinya membekas, jadi gw pengen ngerasain lagi pas udah gede.” -Ha**, 24 living like 4
 

“Sekarang lebih ke penasaran pengen coba mainan yang dulu gak mampu atau gak dibolehin beli. Sekarang kan udah punya uang sendiri, jadi bisa beli apapun dan gak ada yang larang.” -Le**, mengobati inner child di usia 25

 

“Dari kecil suka mainan yang bisa berimajinasi kayak lego, barbie, dan figurine. Di umur 30-an nanti kayaknya bakal masih suka, untuk jadi escape pas mau mengenang masa kecil/nyari kebahagiaan sendiri. Supaya tetep enjoy sama hidup.” -Me***, 29 welcoming 30s

 

“Dulu pingin koleksi lego dan figurine, tapi gak kesampaian. Sekarang masih pengen sih. Berhubung sekarang udah punya uangnya, kalau anak-anak gue suka, gue beliin semua koleksinya.” -Ab**, ATM daddy berusia 41

 

Bukan Hobinya yang Harus Diganti, Tapi Stereotype-nya

Orang dewasa sering dituntut untuk selalu terlihat dewasa dan serius. Makanya, kalau suka mainan dianggapnya kayak anak-anak, padahal nggak harus begitu. Menurut Jeremy Padawer, Chief Brand Officer di perusahaan mainan Jazwares, definisi “kedewasaan” sudah berkembang. Dulu, orang dewasa dianggap harus jadi anggota masyarakat yang sangat terhormat dan serius. Sekarang, semua orang bisa dengan bebas mengekspresikan jati diri dan kesukaannya[6].

 

Faktanya, mainan sama bermanfaatnya untuk orang dewasa seperti untuk anak-anak.

Kalau kamu orang dewasa yang bekerja di bidang kreatif terutama menulis, beberapa jenis mainan bisa bikin kamu menulis lebih baik, lho. Ini karena main jenis mainan yang membutuhkan keahlian bahasa bisa meningkatkan literasi dan menjaga jiwa kreatifmu supaya nggak pudar[7][8][9].

 

Secara medis, permainan yang memaksa kamu berpikir juga menghindari kamu dari penyakit seperti Alzheimer. Sedangkan secara sosial, bermain mainan dengan orang lain meningkatkan kemampuan sosialisasi kamu. Karena inilah kegiatan team building dan bonding banyak yang berisi permainan berkelompok[10].

 

Yang jelas, orang dewasa perlu main untuk alasan sesederhana karena mainan adalah hal yang menyenangkan. Bersenang-senang penting untuk menghindari stress. Main mainan yang disukai menghasilkan endorfin yang kuat untuk melawan efek hormon negatif, yaitu kortisol[7][11]. Jadi, nggak ada deh yang namanya burn out!

 

Inner Child Kini Dikapitalisasi

Kebutuhan dan kesenangan para kidult ke mainan membawa pengaruh besar ke industri mainan. Menurut data dari NPD Group, para kidult menyumbang seperempat dari total penjualan mainan tiap tahun dengan nilai sekitar $9 miliar. Kidult jadi salah satu pendorong utama untuk pertumbuhan industri mainan[12].

 

Ini juga berefek ke pergerakan bisnis di Indonesia yang tadinya menyasar anak-anak sebagai target konsumen utama. Banyak pelaku bisnis yang membangun taman bermain segala usia untuk menarik perhatian kidult seperti trampoline park dan playground[13]. Beberapa perusahaan lain mengadakan promosi dan event yang menargetkan remaja hingga dewasa. Misalnya, KidZania yang membuka TeenZania untuk usia 16-25 tahun[14].

 

Di satu sisi, mengkapitalisasi hobi para kidult berarti masyarakat sudah lebih menerima fakta orang dewasa boleh suka main. Di sisi lain, ada juga anggapan orang dewasa nggak boleh memberi contoh berlebihan menghabiskan uang untuk menyenangi sesuatu karena bisa ditiru anak-anak. 

 

Tapi kesimpulannya, kamu boleh menjadi diri sendiri dan menyukai apa yang menurutmu bagus, yang penting sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ya!
 

Reference:

[1] Cambridge Dictionary

[2] Cambridge Dictionary (2) 

[3] Bradshaw, J. (2013). Homecoming: Reclaiming and healing your inner child. Bantam.

[4] Wolipop

[5] Radar Kediri

[6] CNBC

[7] TCK Publishing 

[8] Crystal, D. (1996). Language play and linguistic intervention. Child Language Teaching and Therapy12(3), 328-344.

[9] Augarde T. (1984). The oxford guide to word games. Oxford University Press.

[10] NPR

[11] Magnuson, C. D., & Barnett, L. A. (2013). The playful advantage: How playfulness enhances coping with stress. Leisure Sciences35(2), 129-144. 

[12] CNBC (2)

[13] Traveloka

[14] Kompas.com

 

 

Share this article