Insight Articles — Oct 27, 2022
3 mins read
Share this article
Sepatu memang sudah sejak dulu jadi kebutuhan primer manusia. Tapi dari yang dulunya hanya berfungsi sebagai pelindung kaki, sekarang sudah jadi bagian dari fashion yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari bepergian santai, acara formal, sampai pergi ke tempat kerja. Jadi bukan hanya kenyamanan lagi yang dicari, tapi juga tipe, model, bahkan dari merek sepatunya sendiri.
Indonesia adalah salah satu negara dengan produksi sepatu terbesar di dunia, dengan total produksi 1,4 miliar pasang pada tahun 2018. Posisi ini diduduki Indonesia di peringkat ke-4 setelah China, India, dan Vietnam. Kata Gati Wibawaningsih, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Indonesia juga menjadi negara konsumen sepatu terbesar ke-4 dengan konsumsi 886 juta pasang alas kaki.
Tidak heran, karena di Indonesia banyak kolektor yang punya segudang sepatu.
Padahal sering kita jumpai sepatu dengan harga jutaan atau bahkan puluhan juta, tapi tetap saja kalau namanya koleksi, pasti akan tetap kita usahakan. Beberapa public figure di Indonesia juga terkenal sebagai kolektor sepatu mulai dari Luna Maya dan Nagita Slavina yang punya lemari penuh sepatu branded, Joshua Suherman dengan 50 pasang sepatu, Rayi RAN dengan 150 pasang sepatu, hingga Gading Marten dengan 300 pasang sepatu. Bahkan Sandiaga Uno dan Jokowi pun sering terlihat di beberapa media mengenakan berbagai merk sepatu yang berbeda, dari produksi lokal hingga luar negeri. Kaum minimalis mungkin tidak akan mengerti. Kaki hanya sepasang kok, sepatunya pun tidak bisa dipakai setiap hari, tapi kenapa tetap saja banyak orang hobi koleksi puluhan hingga ratusan pasang sepatu?
Kalau bicara “koleksi”, banyak sekali alasan yang bisa dinikmati; kenyamanan, gaya, sejarah, kombinasi warna, sentimentalitas, nostalgia, dan masih banyak lagi.
Kolektor sepatu pun ada berbagai macam:
1. Ada yang koleksi puluhan sepatu dan benar-benar dia pakai
2. Ada yang hanya koleksi untuk dipajang di lemari
3. Ada juga yang cukup ekstrim harus punya 2 pasang sepatu yang sama, satu untuk dipakai dan satu untuk dipajang.
Beberapa kolektor yang sudah sangat passionate dengan sepatu merasa bisa mengapresiasi desain, konsep, dan referensi sejarah dari setiap pasang sepatunya. Mereka percaya bahwa setiap sepatu itu unik dan bisa jadi media mengekspresikan diri. Lebih banyak sepatu berarti lebih banyak pilihan untuk mengembangkan gaya pribadi, jadi pasti rela menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mendapatkan sepatu tertentu.
Alasan lainnya adalah untuk flexing, kredibilitas, atau secara sederhana, pamer. Ada kesenangan tertentu yang didapatkan para kolektor saat banyak orang melihat dan memuji sepatu yang mereka pakai, atau sesimpel mendapatkan banyak likes dan komentar positif di media sosial. Mereka biasanya sangat mengikuti tren dan hype sepatu yang sedang ramai, terlebih kalau model sepatunya unik dan sulit dipahami. Ada rasa bangga tersendiri kalau bisa mendapatkan sepatu yang paling mahal dan paling langka, mengetahui ada sesuatu yang istimewa dari sepasang sepatu yang dikenakan.
Selain itu, beberapa koleksi sepatu memiliki harga yang bisa melonjak jauh dari harga awalnya, jadi tidak sedikit juga orang yang giat mencari sepatu untuk dijual lagi dengan harga lebih mahal, atau untuk investasi. Industri ini ternyata memang sangat besar, apalagi untuk sneakers. Pasar penjualan kembali sneakers pada tahun 2019 bernilai £4,2 miliar, setara dengan 72 triliun rupiah, dan masih terus berkembang hingga sekarang.
Tidak ada salahnya kok mengoleksi sepatu.
Kata Dr. Michael Hickey, psikolog klinis dan direktur Center for Obsessive Compulsive and Related Disorders di Albert Ellis Institute, New York, “Mengoleksi bisa menjadi hal yang hebat. Banyak orang memiliki koleksi yang sangat besar dari banyak hal yang berbeda dan itu tidak bermasalah bagi mereka.” Tetapi memang ada orang yang punya keterikatan berlebih pada barang-barang seperti sepatu. Penyebabnya pun bervariasi, tapi di antara orang-orang dengan obsessive-compulsive disorder (OCD) dan social-anxiety disorder, biasanya masalah ini terkait dengan “kontrol”. Ada overestimasi terhadap pemikiran; “Nanti pasti ada waktunya untuk dipakai. Mungkin bukan sekarang, tidak ada waktu pasti juga kapan akan terjadi, tapi mungkin suatu hari akan butuh.”
Apapun alasan kita mengoleksi, pastinya selalu diawali dengan kecintaan terhadap hal tertentu. Berakar juga pada kebutuhan manusia yang pantang menyerah akan ekspresi diri dan apresiasi atas objek keinginan masa kini. Merasa passionate tentang sesuatu adalah hal yang mendorong kita sebagai manusia, tentunya dengan menghindari keterikatan berlebih dan kebiasaan menimbun (hoarding) yang tidak sehat.
Kalau sekarang, mau koleksi atau pun tidak, sepatu tetap salah satu barang yang harus dijaga.
Karena sepatu sudah pasti kita pakai setiap hari dan jadi hal yang sangat krusial bagi keseharian kita untuk dipakai jangka panjang. Namun tetap saja pasti ada momen di mana sepatu kita mengalami kerusakan atau butuh perawatan lebih. Salah satu tempat perawatan dan penanganan sepatu yang sering dituju adalah Stop'N'Go. Outletnya sendiri telah berdiri sejak 1989 dan tersebar di daerah Jakarta, Tangerang, Surabaya, Malang, hingga Makassar.
Stop'N'Go menyediakan jasa untuk berbagai penanganan dan perawatan pada sepatu, mulai dari shoe cleaning, unyellowing, reparasi, hingga produk perawatan sepatu dan leather. Beberapa layanannya termasuk penggantian sol sepatu, lem dan jahit sepatu. Treatment reparasi ini tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sepatu yang sudah rusak, tapi juga dapat dilakukan untuk menguatkan dan memperpanjang usia sepatu. Para kolektor sepatu pasti sudah terbiasa melakukan usaha lebih untuk merawat sepatunya, tapi bukan berarti non-kolektor sepatu tidak perlu merawat sepatunya juga.
Kalau kamu gimana? Jadi makin tertarik buat koleksi sepatu nggak nih?
Reference:
Share this article
Related insight