Insight Articles — Sep 05, 2022

Kalau Putus Minta Balikin Duit

3 mins read

Share this article

Masa-masa pacaran memang manis, rasanya kita rela memberikan apapun untuk pasangan yang lagi kita sayang-sayangnya. Tapi siapa sangka kalau setelah putus bukannya minta balikan malah minta balikin semua pemberiannya?

 

Tidak hanya satu-dua kali kita jumpai di media sosial, ramai dengan kisah viral mantan yang menagih ganti rugi biaya kencan selama pacaran atau meminta semua hadiah dan pemberiannya dikembalikan. Fenomena ini jadi mengundang banyak konotasi negatif untuk si mantan yang minta ganti rugi, ada yang bilang dia terlalu perhitungan, atau sebenarnya tidak tulus selama pacaran. Tapi ada juga yang setuju dan berpendapat bahwa memang harus dikembalikan, karena merasa usaha dan pengeluaran selama pacaran jadi sia-sia dan merasa dirugikan setelah putus. Bahkan ada beberapa kasus di mana sang mantan membuat daftar pengeluaran selama pacaran yang perlu dikembalikan; mulai dari uang makan, hadiah, biaya liburan, sampai uang bensin.
 

Minta “ganti rugi” setelah putus bisa jadi disebabkan karena pasangan menganggap hubungan cinta mereka sebagai investasi. Memang setiap pasangan pasti menginvestasikan waktu, tenaga, kasih sayang, dan termasuk juga uangnya selama masa pacaran. Semua ini dilakukan biasanya untuk mendapatkan “hasil investasi” berupa pernikahan atau tujuan-tujuan lainnya. Pacaran yang ujung-ujungnya putus jadi disamakan dengan modus investasi bodong, di mana kita dijanjikan keuntungan yang sangat tinggi (misalnya pernikahan), tapi pelakunya malah membawa kabur investasi tersebut. Maka itu, beberapa orang merasa sangat dirugikan kalau seketika diputusin. Apalagi ditambah oleh pengaruh media sosial, pacaran bisa jadi ajang pamer-pameran, sehingga mengarah ke pengeluaran biaya yang berlebih.
 

Padahal, pacaran sebenarnya merupakan proses perkenalan antara dua individu untuk membangun hubungan jangka panjang menuju jenjang yang lebih tinggi, salah satunya pernikahan. Menurut Esther Boykin, seorang therapist, pacaran yang sehat itu justru bisa meningkatkan kualitas hidup kita, mendapatkan keamanan emosi, dan menjalin intimasi secara fisik, emosi, maupun spiritual. Namun seperti hubungan pada umumnya, pacaran memang belum tentu berakhir ke hubungan yang lebih serius, tetap ada risiko kita putus cinta. Jadi sebenarnya kurang cocok kalau disamakan dengan investasi, tapi lebih mirip ke biaya entertainment. Hal ini berarti apa yang kita berikan dan terima memang sudah kita nikmati pada saat itu, tanpa bisa diteruskan ke waktu jangka panjang berikutnya. Jadi kalau keluar biaya untuk pasangan, seharusnya dianggap sebagai biaya yang tidak akan kamu dapatkan imbal hasilnya.

 

Kalau dari sisi hukum, barang-barang yang sudah diterima sebagai pemberian atau hibah tidak dapat diminta kembali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata yang menyatakan:

“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”

Pemberian hadiah memang seharusnya dilakukan tanpa ada ikatan atau keharusan untuk mengembalikan barang tersebut, berbeda dengan hutang atau barang pinjaman.
 

Pengadilan di Maumere, Flores juga pernah menolak gugatan seorang pria yang meminta mantannya untuk mengembalikan biaya ganti rugi selama tiga tahun pacaran senilai 40 juta. Bahkan ingin berubah jadi 400 juta kalau si mantan menikahi laki-laki lain. Padahal, mantannya mengakhiri hubungan karena tidak ingin dipoligami, sebab pria itu ternyata sudah menikah dua kali. Tentu saja mantannya menolak gugatan ini, karena menganggap selama berhubungan, yang sudah diberikan harusnya sebagai bentuk kasih sayang kepada pasangan. Akhirnya si mantan juga menuntut balik pria ini atas suguhan air minum dan fasilitas WC yang digunakannya selama berkunjung ke rumah si mantan untuk pacaran. Alih-alih mendapatkan kembali uang 40 juta, pria ini justru harus membayar seluruh biaya Sidang Perdata sejumlah 556 ribu rupiah kepada pengadilan.

 

Pasangan lain juga ada yang membuat keributan di salah satu bioskop di Mall Ciputra Seraya Pekanbaru, Riau. Seorang pria mengamuk hingga menganiaya mantannya demi meminta balik barang-barang yang pernah diberikan selama pacaran. Beberapa petugas keamanan dan warga yang di lokasi terlihat sampai melerai dan menahan pria itu di salah satu video yang diunggah akun @lambe_turah di Instagram.
 

Ada juga beberapa pendapat tentang hal ini. DN, wanita 23 tahun, mengatakan kalau sebenarnya baik-tidaknya meminta kembali barang pemberian setelah putus itu tergantung dari nilai barangnya. “Kalau misal barangnya mobil ya balikin lah, tapi kalau dia ngungkit boneka, jaket, atau ngitungin duit ngedate ya ngeselin aja. Gue juga bisa beli. Tapi kalo diminta gapapa gue balikin, siapa tau dia butuh, atau dikasih ke cewek selanjutnya.”

 

Menurut GE, pria 25 tahun, “Kalau cewe gw minta balik, kasih aja gapapa. Kasian mungkin idupnya menderita abis putus, butuh likuidasi. Tapi kalau gw gak bakal minta lah, namanya mau ngasih udah bukan barang lu gitu, anggep aja udah ilang pas dikasih. Itu namanya tau diri, tau malu, decentstandard, semua orang harus begitu.”

 

Belajar dari kisah-kisah mantan pasangan yang meminta kembali barang atau uang selama pacaran, biasanya memang tidak berakhir baik. Jadi sebaiknya ada beberapa hal yang perlu kita pelajari sebelum menjalin hubungan:

1. Harus ikhlas ketika memberikan sebuah barang, tidak perlu dipaksakan kalau tidak rela, bahkan sampai memaksakan keuangan untuk membelikan barang untuk pasangan.

2. Sebisa mungkin hindari minta ini-itu pada pasangan, karena kebutuhan sehari-hari atau belanja bukan jadi tanggung jawab pasangan, jangan menganggap kalau uang dia adalah uang kamu juga.

3. Perjuangan selama hubungan harus berjalan dua arah, baik susah maupun senang. Jadi harus saling melengkapi dalam hal memberi dan menerima. Jangan sampai hanya salah satu yang merasa terbebani, agar nantinya tidak ada yang merasa lebih dirugikan.


 

Reference:

Share this article